Jumat, 23 April 2010

Cegah kanker dengan Selada Paru


Selama ini selada nyaris lebih banyak menjadi penghias makanan, padahal kaya zat gizi dan sangat baik bagi kesehatan. Jenis sayuran ini dapat melindungi paru, mencegah kanker dan stroke, memelihara hati, serta mengatasi anemia dan bronkitis.

Selada (Lactuca sativa) jika dilihat sepintas bentuknya seperti lobak yang berdaun kembang. Selada merupakan tanaman paling populer di antara tanaman salad lainnya. Pada tahun 1952, nilai komersial tanaman selada sebagai sayuran di Amerika Serikat, hanya dapat dilampaui oleh kentang dan tomat. Tanaman ini diperkirakan telah mulai dijadikan usaha sejak 2.500 tahun lalu.

Tanaman selada diduga berasal dari Asia Barat. Berawal dari kawasan Asia Barat dan Amerika, tanaman ini kemudian meluas ke berbagai negara. Daerah penyebaran selada antara lain Karibia, Malaysia, Afrika Timur, Afrika Tengah, Afrika Barat, dan Filipina.

Dalam perkembangan selanjutnya, pembudidayaan selada meluas ke negara-negara yang beriklim sedang maupun panas. Beberapa negara telah mengembangkan dan menciptakan varietas unggulan, seperti di Jepang, Taiwan, Thailand, Amerika Serikat, dan Belanda.

Di Indonesia, selada belum berkembang pesat sebagai sayuran komersial. Daerah yang banyak ditanami selada masih terbatas pada pusat-pusat produsen sayuran seperti Cipanas (Cianjur) dan Lembang (Bandung).

Selada termasuk famili Asteraceae dan genus Lactuca. Yang termasuk dalam famili ini adalah selada daun. Selama ini banyak orang salah kaprah dan menganggap selada daun sama dengan selada air, padahal selada air berasal dari famili yang berbeda.

Selada daun memiliki daun berwarna hijau segar, tepinya bergerigi atau berombak, dan lebih enak dimakan mentah. Varietas selada daun yang ditanam di Indonesia umumnya berasal dari luar negeri.

Sahabat Perokok, Tangkal Gangguan Hati
Selada air berbeda dengan selada daun. Selada air berasal dari famili Brassicaceae dan mempunyai nama Latin berbeda, yaitu Nasturtium officinale. Selada air mempunyai ciri-ciri batang berongga dengan daun lonjong bertangkai. Daerah asalnya adalah wilayah timur Mediterania dan wilayah yang berbatasan dengan Asia.

Selada air mengandung komponen antioksidan lengkap, sehingga mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan mendetoksifikasi racun tubuh. Sebuah studi telah memfokuskan pada sifat-sifat antikanker yang dimiliki selada air, terutama kandungan antioksidannya yang tinggi.

Jenis selada ini juga terbukti mampu mengobati tuberkulosis, kudis, dan bersifat antibakteri. Kualitas antikudis ini sudah digunakan sejak berabad-abad lalu dengan menggunakan selada sebagai obat tradisional.

Dalam penelitian terbaru, selada air mengindikasikan dapat melindungi paru-paru perokok dari bahan karsinogenik yang ada dalam tembakau maupun asap rokok. Konsumsi selada air membantu menghambat terbentuknya NKK, yaitu zat karsinogenik dalam tembakau yang menyumbang terjadinya kanker paru, kanker mulut, dan tenggorokan.

Hal ini dimungkinkan karena daun selada air mengandung PEITC (phenethyl isothiocynate) yang keluar bila daun ini dikunyah, yang merupakan agen kemopreventif pelawan kanker paru. Penelitian juga membuktikan bahwa selada air berkhasiat menangkal radang selaput lendir pada saluran pernapasan.

Di Jerman, selada air digunakan untuk mengobati infeksi saluran kencing pada anak-anak. Bubuk daun selada di India digunakan sebagai peluruh dahak untuk mengobati bronkitis dan gangguan lever.

Selain itu, selada air juga bersifat peluruh kencing, pencahar, peningkat stamina. Berguna pula dalam mengatasi anemia, eksim, gangguan ginjal dan lever, tumor, bisul, dan kutil karena kaya akan antioksidan dan fitiokimia.

Dalam pengobatan tradisional, daun selada air segar digunakan untuk membersihkan darah dan mengobati pasien yang mengalami gangguan metabolik kronis serta astenia (kelemahan). Daun selada air yang dilumatkan lalu digunakan sebagai masker wajah bisa mengatasi jerawat, bintik-bintik, atau noda hitam. @

Baik bagi Ibu Hamil   
Selada kaya akan kandungan vitamin A, C, E, betakaroten, seng, asam folat, magnesium, kalsium, zat besi, mangan, fosfor, dan natrium. Namun, dalam beberapa kasus, selada air dapat mengganggu orang yang mempunyai masalah pencernaan berat atau tukak lambung.

Seperti jenis sayur-sayuran lainnya, selada juga mengandung komponen gizi yang cukup baik, terutama vitamin A dan vitamin K. Kandungan gizi tiap jenis selada berbeda-beda. Kandungan vitamin A paling banyak terdapat pada selada yang berwarna merah.

Sementara kandungan vitamin C tertinggi terdapat pada selada jenis roman lettuce. Kombinasi vitamin C dan betakaroten pada selada sangat baik untuk menjaga kesehatan jantung karena dapat mencegah oksidasi kolesterol.

Selada juga kaya akan vitamin K, paling banyak terdapat pada selada berdaun merah. Selain membantu proses pembekuan darah, vitamin K berpotensi mencegah penyakit serius seperti penyakit jantung dan stroke karena efeknya mengurangi pengerasan pembuluh darah oleh faktor-faktor seperti timbunan plak kalsium.

Selada juga mengandung komponen lain dalam jumlah minor, seperti vitamin B kompleks dan berbagai mineral lainnya. Konsumsi selada jenis roman lettuce sebanyak 100 gram cukup untuk memenuhi 34 persen kebutuhan asam folat dalam tubuh. Asam folat merupakan komponen dalam DNA dan RNA, sehingga sangat penting untuk pertumbuhan dan penggantian sel-sel tubuh yang rusak.

Asam folat sangat diperlukan oleh ibu hamil untuk mengatasi anemia zat besi, serta mengurangi risiko kelahiran bayi cacat. Asam folat juga dapat mereduksi kadar homosistein di dalam darah. Homosistein sangat berbahaya bagi tubuh karena berpotensi menyebabkan berbagai penyakit, seperti jantung dan lever.

Daun selada mengandung bioflavonoid, berfungsi mirip vitamin C, yaitu
mempertahankan fisik agar tetap awet muda. Selain itu, bioflavonoid berfungsi membantu mempertahankan kekuatan pembuluh darah agar tidak mudah pecah. Karena itu, daun selada sangat baik untuk mencegah penyakit stroke.

Hati-Hati Salmonella
Selada merupakan salah satu contoh sayuran yang biasa digunakan sebagai penyusun salad dan banyak dikonsumsi mentah sebagai lalapan. Meskipun lebih nikmat dan mempunyai nilai gizi lebih baik, konsumsi selada mentah sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri patogen.

Hasil penelitian Lund et al (2000) menyebutkan, pada selada ditemukan bakteri Salmonella. Bakteri patogen tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan karena dapat menyebabkan gastroenteritis.

Salmonella penyebab gastroenteritis ditandai oleh gejala-gejala yang umumnya tampak pada 12-36 jam setelah mengonsumsi bahan pangan yang tercemar. Gejala-gejala tersebut adalah diare, sakit kepala, muntah-muntah, dan demam yang dapat berakhir selama 1-7 hari. Menurut Buckle et al (1987), tingkat kematian akibat Salmonella kurang dari 1 persen, tetapi jumlah ini dapat meningkat pada anak-anak, orang tua, dan orang yang sedang sakit.

Tingkat bahaya yang demikian tinggi mendorong beberapa lembaga yang bergerak di bidang pangan membuat aturan sangat ketat mengenai kandungan Salmonella pada selada. Menurut rekomendasi ICMSF (International Comission on Microbiological Spesification for Foods) tahun 1986, kandungan Salmonella harus nihil (tidak ada) dalam 25 gram sampel yang diuji.

Sementara itu, menurut peraturan Public Health Laboratory Service (2000) tentang penilaian kualitas mikrobiologi sayuran segar, juga disebutkan bahwa batas aman Salmonella adalah tidak terdeteksi dalam 25 gram sampel sayuran segar, termasuk selada. Di Indonesia juga dipersyaratkan agar sayuran yang dimakan mentah tidak boleh mengandung Salmonella.

Selain Salmonella, pada selada juga mudah ditemukan bakteri patogen lainnya, seperti Escherichia coli O157:H7, Listeria monocytogenes, dan Shigella sonnei (Lin et al, 2000). Karena itu, semua orang yang gemar mengonsumsi sayuran mentah seperti selada sebaiknya lebih berhati-hati.

Berdasarkan penelitian Susilawati (2002), Salmonella selalu ditemukan pada sayuran segar. Sementara itu, penelitian Ruslan (2003) menunjukkan bahwa Salmonella selalu ditemukan dari tujuh kali pengambilan sampel dari semua jenis sayur olahan.

Jika hendak mengonsumsi sayuran mentah seperti selada, sebaiknya cuci berulang kali hingga bersih. Air yang dipakai untuk mencuci harus bebas dari mikroba patogen atau mikroba penyebab kebusukan makanan. Selain itu, pencucian juga dapat dilakukan dengan desinfektan seperti klorin.   

Menurut Codex Alimentarius Comission (2000), konsentrasi klorin yang aman digunakan untuk desinfeksi berkisar antara 50-200 ppm (mg/kg), dengan waktu kontak 1-2 menit. Di Amerika Serikat, maksimum 200 ppm klorin yang diizinkan untuk sanitasi buah dan sayuran. Bila digunakan untuk pencucian buah dan sayuran segar, batas maksimum penggunaan klorin adalah 5 ppm. Setelah dicuci dengan klorin, sayuran harus dicuci dengan air bersih kembali.

Selain itu, proses pemblansiran juga dapat menjadi pilihan. Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93°C. Waktu blansir bervariasi antara 1-11 menit.  Selain itu, bagian-bagian selada yang tidak dinginkan, seperti akar maupun daun yang sudah mulai membusuk, sebaiknya dibuang.

Jangan Disimpan Dekat Buah
Sebelum diolah atau dikonsumsi, selada sebaiknya disimpan di dalam lemari pendingin. Sebelum disimpan, selada harus dikeringkan terlebih dahulu untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Lebih baik lagi jika selada dibungkus dengan plastik untuk mencegah kontaminasi.

Penyimpanan selada sebaiknya tidak terlalu dekat dengan buah-buahan yang dapat memproduksi etilen seperti apel, pisang, dan buah pir, agar tidak mudah busuk. Lama penyimpanan selada tergantung jenisnya. Selada roman lettuce dapat bertahan selama 5-7 hari, sedangkan selada butterhead hanya 2-3 hari.

Untuk menghindari bahaya yang tidak diinginkan, sayuran segar seperti selada sebaiknya tidak dikonsumsi dalam keadaan mentah, terutama bila disajikan untuk anak-anak atau orang tua. Proses pemasakan juga dapat membunuh mikroba yang bersifat patogen.

Penyajian usai pemasakan juga tidak boleh luput dari perhatian. Sebaiknya makanan yang telah melalui proses pemasakan langsung dikonsumsi. Sebagian besar kasus food borne disease (penyakit yang berasal dari makanan) di Indonesia diakibatkan oleh penanganan sesudah pemasakan yang tidak sempurna, seperti penyimpanan yang terlalu lama.

Prof DR. Made Astawan
Ahli Teknologi Pangan dan Gizi


sumber

1 komentar:

Jingga mengatakan...

artikel yg bagus bmanfaat lg