Sabtu, 19 September 2009
Budaya minum di Jepang
Satu hal yang membuat Jepang berbeda dengan negara-negara modern lain, sekali pun itu dengan negara barat yaitu adanya budaya minum usai jam kerja. Seperti diketahui, Jepang memiliki lingkungan kerja yang terkenal keras dan tegas.
Semenjak perang dunia kedua usai, para pelaku bisnis serta karyawan-karyawannya dipacu keras untuk membangun kembali negeri yang telah porak poranda. Jam kerja mereka pun umumnya di atas rata-rata standar 8 jam kerja orang barat dalam sehari. Kadang-kadang mereka harus merelakan diri untuk bermalam di kantor karena jadual kereta terakhir telah berlalu.
Pada dasarnya kantor dan pekerjaan menjadi nadi kehidupan para karyawan dan pulang ke rumah bukan prioritas dalam keseharian mereka. Kalau pun tidak ada kerja lembur, mereka tetap cenderung menghabiskan waktu di kedai-kedai minum tradisional sampai jadual kereta terakhir tiba.
Ada apa sih dibalik semua ini? Apakah para karyawan itu dianggap berkepribadian tidak terpuji?
Rupanya ide harmonisasi dipercaya menjadi landasan dasar lingkungan kerja di negeri sakura ini. Sebagai bagian dari perusahan atau instansi, semua karyawan harus bekerja demi kesuksesan perusahan dan bukan demi kepentingan karir pribadi atau kesuksesan personal.
Karyawan-karyawan adalah bagian dari “mesin-mesin” yang sangat menentukan efektivitas dan efisiensi kerja “mesin besar” perusahan. Oleh sebab itu, semua bagian semestinya bekerja dengan sempurna demi tercapainya efektivitas dan efesiensi yang diharapkan.
Relasi para karyawan dalam keseharian tidak begitu saja berakhir saat mereka selesai bekerja atau di seputar kantor saja. Konsep ini juga meliputi semua aspek kehidupan para karyawan secara luas di luar jam kantor. Bekerja bersama berarti juga bermain bersama.
Dengan demikian kegiatan minum usai jam kerja merupakan kesempatan mereka untuk berbagi serta mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain secara terbuka tanpa khawatir dengan konsekuensi negatif di antara mereka.
Sebagai negara yang sedang berkembang, negara Merah-Putih juga boleh dibilang sedang mencari jati diri. Saat kebebasan untuk berpendapat banyak diagung-agungkan, masih adakah orang yang mau berpikir tentang harmonisasi demi efesiensi dan efektifitas satu tujuan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar