Kamis, 24 September 2009

Islam di Tokyo


Islam itu indah. Kalau mau melihat keindahan tersebut, datanglah ke Masjid Camii pada bulan suci Ramadhan! Gambaran keliru tentang Islam yang sering dikaitkan dengan kekerasan akan sirna karena melihat muslim berbagai bangsa saling berbagi satu sama lain saat berbuka puasa di masjid tersebut, ujar Eri Amano (30) warga Jepang yang beragama nonmuslim.

Menurut Eri, meskipun dirinya tidak beragama Islam, tetapi dia selalu berusaha meyakinkan banyak orang di Tokyo bahwa gambaran tentang Islam di televisi terkadang tidak benar seratus persen. Muslim yang berasal dari berbagai negara, termasuk di negara Islam di Timur Tengah sangat mencintai kedamaian dan ramah terhadap warga negara asing karena memang diajarkan untuk saling berbagi.

Apa yang diutarakan Eri memang bisa dibuktikan di Masjid Camii yang berada di atas Pusat Kebudayaan Turki di kawasan Shibuyaku, Tokyo, Jepang pada bulan puasa. Sejumlah warga negara asing yang kebetulan hidup merantau di Tokyo memilih menghabiskan waktu di masjid tersebut menjelang buka puasa.

Mereka memilih duduk bersama-sama dan berbagi makanan untuk berbuka puasa selama bulan suci Ramadhan di masjid yang dikenal oleh warga asal Indonesia sebagai masjid Jami Tokyo.

Bahkan pada akhir pekan di bulan Ramadhan, jumlah jemaah yang datang berbuka puasa di Masjid Camii bisa melebihi 100 orang jemaah yang selalu dengan ramah saling menyapa, dan berbagi senyum dan juga makanan. Mereka bahkan datang secara khusus dengan berbagai macam pakaian, kadang disesuaikan dengan kebiasaan negara asal mereka masing-masing.

Kompas yang datang ke Masjid Camii tanpa membawa bekal untuk berbuka, Rabu pekan lalu, langsung mendapat tawaran satu buah pisang dan segelas jus apel dari seorang warga Pakistan. Tidak perlu basa-basi terlebih dahulu untuk memperkenalkan diri, karena bulan Ramadhan menciptakan atsmosfir kebersamaan bagi kalangan muslim di rantau. Semua muslim yang membawa makanan, menawarkan kepada jemaah yang lain di masjid tersebut.

Tak terbayangkan, jika tak ada jemaah yang sengaja membawa makanan berlebih maka bisa dipastikan jemaah yang tak membawa makanan terpaksa harus mengisi perutnya dengan buah kurma tanpa minum setetes air. Sebab kebiasaan di Masjid Camii, pengurus masjid tidak menyediakan tadjil untuk berbuka puasa seperti masjid-masjid di Indonesia.

Satu per satu muslim berdatangan hingga adzan magrib dikumandangkan. Tak lama setelah Kompas bergabung dengan warga Pakistan, Muhammad mahasiswa salah satu universitas di Tokyo asal Maroko langsung bergabung dengan kelompok kami.

Muhammad mengaku, dirinya tak sempat membawa bekal berbuka puasa karena buru-buru ke masjid setelah belajar di Kampus. Muhammad mengaku selama Ramadhan dia selalu ke Masjid Camii karena membayangkan bisa berbuka dengan keluarga di negara asalnya. Muslim yang ada di Tokyo dia anggap sebagai saudara-saudaranya, meskipun tidak ada ikatan darah sama sekali.

Akhirnya, acara santap buka puasa dengan menu sangat sederhana di teras Masjid Camii selepas shalat Magrib menjadi makan malam besar karena tamunya dari berbagai bangsa. Bahkan, termasuk muslim dari Australia dan seorang muslim warga negara Jepang yang sangat pendiam juga ikut bergabung dengan kami.

Sambil menyantap hidangan, satu sama lainnya melontarkan pertanyaan yang tentu tidak jauh dari asal negara? Tujuan berada di Tokyo? Bekerja di mana? Dan pertanyaan penting lainnya adalah sudah berapa lama di Tokyo?

Setelah perkenalan cair, barulah tukar menukar informasi mengenai kebudayaan dan kehidupan muslim di negara masing-masing. Terutama informasi mengenai kebiasaan atau tradisi berbuka puasa di negara asal.

Hasan dari Pakistan yang sudah belasan tahun tinggal di Tokyo, mengaku keluarga muslim di negaranya selalu menikmati waktu-waktu berbuka puasa dengan sangat nikmat. Setiap keluarga selalu memastikan berkumpul bersama-sama di meja untuk menyantap buka puasa. Oleh karena itu, Masjid Camii selalu menjadi tempat favorit untuk merusak puasa.

Tetapi yang lebih penting, tak satu pun di antara kami yang harus mencemaskan bagaimana membatalkan puasa karena selalu ada saja muslim yang sangat ramah membagikan makanan berbukanya. Meskipun makan yang mereka bawa, tidak terlalu banyak untuk dimakan ramai-ramai.

Seperti kata Eri yang sehari-hari bekerja sebagai salesman dari sebuah produsen peralatan rumah tangga tersebut, kehidupan masyarakat Muslim sangat indah karena mereka sangat terbuka kepada siapa saja. Termasuk kepada orang asing yang berbeda sama sekali. Bahkan, seandainya yang datang ke Masjid Camii bukan dari kalangan muslim.

Dibangun imigran Turki

Masjid Camii dibangun pada tahun 1938 beberapa tahun setelah terbentuknya komunitas Turki di Tokyo. Mereka yang datang ke Tokyo adalah kelompok Kazan Turki yang memilih migrasi ke Tokyo dan membangun komunitas yang disebut dengan Mahalle-I Islamiye (Islamic District) yang dipimpin Abdulhay Kurban Ali dan Abdurresid Ibrahim.

Namun masjid Camii mengalami kehancuran pada tahun 1986 karena termakan usia setelah sekian lama digunakan. Kemudian atas donasi Tokyo Turkish Assosiation kepada Republik Tokyo, Masjid Cami dibangun kembali menjadi bangunan yang seratus persen baru. New Tokyo Camii Foundation yang memulai pembangunan pada tahun 1998 dan selesai dalam dua tahun pada tahun 2000.

Arsitek dari Masjid Camii adalah Muharrem Hilmi Senalp, namun proyek dilaksanakan kontraktor lokal Kajima Corporation dengan dibawah koordinasi oleh Sumio Ito dan Akira Wakabayashi untuk urusan Jepang dan Sami Goren Dan Selim Y untuk urusan Turki. Proyek ini benar-benar melibatkan ahli dari dua bangsa dengan dua keyakinan berbeda, yakni pimpinan proyek di lapangan adalah Tsuruki Furukawa dan asistennya Teiji Omata, serta Mustafa Iskender dari Turki.

Masjid Camii juga menjadi pusat dan jantung dari peradaban Islam di Tokyo. Masjid ini menjadi Pusat Kebudayaan Turki dengan bentuk bangunan beraga arsitektur gaya Ottoman-Turki. Sekilas dari luar, masjid ini seperti blue mosque di Istambul Turki dengan beberapa kubah berwarna biru dengan letak bersusun, dan terbesar berada pada posisi paling atas.

Meskipun masjid ini sangat indah dan layak dikunjungi, namun tak semua wisatawan tertarik untuk mengunjungi tempat ibadah yang berada dekat stasiun Yoyogi-Uehara, Tokyo. Namun kalau kebetulan berada di bulan suci Ramadhan atau pada hari Jumat di Tokyo, tak ada salahnya mengunjungi masjid ini karena dipastikan akan merasakan keunikan sepenggal kehidupan muslim di negara sakura.

Setidaknya akan merasakan pengalaman melakukan ibadah dipimpin imam masjid yang berasal dari Turki atau pada hari Jumat bisa mendengar ceramah dalam tiga bahasa, Turki, Jepang, dan Inggris. Namun yang tak kalah pentingnya, bisa merasakan bagaimana keramahtamahan dalam persaudaraan Islam dari berbagai bangsa.

Tidak ada komentar: