Selasa, 13 Oktober 2009

Membaca yang kosong


Dalam pemilu, fenomena golongan putih (golput) –yang mencontreng diluar tanda gambar sehingga tidak sah, menghadirkan kekosongan yang signifikan. Ruang putih disekitar gambar seakaKalimat yang perlu dihindarin menegaskan bahwa golput adalah hak, orang boleh mencontreng atau tidak. Ruang ini tidak dipenuhi dengan, misalnya, ruang hitam agar pencontreng di ruang ini menjadi “golongan hitam”. Ruang kosong berwarna putih seakan pengakuan akan eksistensi pemilih yang ingin golput, sebagai ruang demokrasi.

Bagi pemilih golput, agaknya kampanye yang nyaring digaungkan adalah eksistensi yang kosong. Padahal pada masa kampanye ini, para calon legeslatif (caleg) beserta partainya secara repetitif ada dan hadir disekeliling kita. Sepanjang jalan penuh dengan bendera partai serta spanduk dan poster foto-foto wajah caleg. Tapi meski telah menjelma menjadi “polusi visual”, bagi pemilih golput, keadaan para caleg ini adalah ke-omongkosong-an.

Dalam dunia seni, membaca ruang kosong tak kalah penting dibanding ruang isi. Konsep white space dalam desain grafis memposisikan pentingnya bidang-bidang kosong. Pemberian ruang kosong pada warna putih justru bisa lebih greget. Kesederhanaan ruang kosong ini kian menajamkan aksentuasi karya. Meski greget dan ketajaman ini tak bisa lepas dari elemen di ruang lainnya.

Demikian pula pada fotografi, white space merupakan elemen penting dalam komposisi. Salah satunya memberi “ruang bernafas” sehingga foto tidak menyesakkan. Kekosongan dalam fotografi juga berbicara saat tidak menampilkan objek yang sebenarnya penting.
Demikian pula dalam karya sastra senantiasa ada ruang kosong diantara rangkaian kata-katanya. Ruang ini disediakan bagi pembaca agar dapat berpartisipasi dalam menuliskan atau menggambarkan rekaan. Kerena itu sering terjadi ada pembaca yang kecewa ketika karya sastra yang dibacanya di angkat kefilm lantaran ruang kosong yang diisinya telah diisi oleh sutradara dengan rekaan yang berbeda.

Sebenarnya pada karya seni, ruang kosong memang merupakan hak penikmat intuk mengisinya. Kerenanya kemudian berkembang apa yang disebut estetisasi, yang berbeda dengan estetika. Dalam estetisasi, keindahan karya tidak inheren berada di dalam karya seni itu. Tapi menjadi indah –atau tidak indah- saat berdialog dengan penikmat. Dan saat berdialog, tentu saja si penikmat membawa pengalaman hidupnya, beserta latar sejarah dan budayanya, yang mungkin berbeda dengan si pencipta.

Dengan demikian “yang kosong bisa berarti ada, yang ada bisa berarti kosong. Sesungguhnya tidak ada yang benar-benar kosong, demikian pula tidak ada yang sungguh – sungguh penuh”.

1 komentar:

Djarum Black mengatakan...

tulisan yg menarik dan informatif